Kinerja Kejaksaan Negeri Garut Dinilai Tak Berpedoman pada Peraturan Jaksa Agung


Partnerbhayangkara-Garut-
Praperadilan terhadap penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) oleh Kejaksaan Negeri Garut pada kasus dugaan tindak pidana korupsi Reses dan Dana BOP Pimpinan DPRD Garut tahun 2014-2019 membongkar tabir yang menyelimuti corp adhiyaksa. Pasalnya Jaksa pada Kejaksaan Negeri Garut memperbolehkan Jaksa Pidana Khsus mengesampingkan atau melakukan kinerja dengan tidak mempedomani pedoman pada Peraturan Jaksa Agung.

Sementara Kejaksaan Agung Republik Indonesia telah menerbitkan Peraturan Jaksa Agung RI Nomor PER-039/A/JA/10/2010 Tentang Tata Kelola Administrasi Dan Teknis Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus yang ditandatangani oleh PLT Jaksa Agung Darmono (PERJA 2010), selanjutnya pada tahun 2014 diubah dengan PERJA nomor PER-017/A/JA/07/2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Jaksa Agung Nomor Per-039/A/JA/10/2010 Tentang Tata Kelola Administrasi Dan Teknis Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus yang ditandatangani pada tanggal 7 Juli 2014 oleh Jaksa Agung Republik Indonesia, Basrief Arief.

Tujuan diterbitkannya Peraturan Jaksa Agung tersebut, kata kuasa hukum pemohon praperadilan terhadap penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kasus dugaan tindak pidana korupsi Reses dan Dana BOP Pimpnan DPRD Garut tahun 2014-2019, Asep Muhidinn, S.H., M.H adalah untuk memberikan pedoman dan kepastian waktu bagi Jaksa dalam menjalankan kewenangannya.

“Sebagaimana termuat dalam pertimbangan PERJA 2010 huruf b menyebutkan “bahwa dengan penataan standar pelayanan administrasi dan teknis penanganan perkara tindak pidana khusus diharapkan proses kerja dan out put kinerja dapat lebih kredibel, sehingga meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap kejaksaan republik indonesia”, selanjutnya pada menimbang huruf d “bahwa pelayanan administrasi dan teknis penanganan perkara tndak pidana khusus yang selama ini berjalan belum mendasarkan pada prinsip-prinsip busines process yang bersifat lengkap dan kronologis berciri spesifik, dapat diukur, dapat dicapai, sesuai kepentingan/keinginan steakholder dan jelas penentuan batas waktunya”, sebutnya Asep, Jum’at (16/8/2024).

Nah sambung Asep, kepastian waktu itu harus digarisbawahi, dan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat. Bagaimana bisa waktunya pasti kalau Jaksa di Kabupaten Garut sendiri bilang melanggar Perja atau mengesampingkan Perja sebagai pedoman dan SOP sah-sah saja ata diperbolehkan dengan acuan Pasal 1196 PERJA No. PER-039/A/JA/10/2010.

Sangat disayangkan, Sebut Asep, pimpinan (Jaksa Agung) dilembaga yang memiliki peran dominus litis seolah ditampar oleh aturan yang dibuatnya sendiri dan dibuka serta disebutkan Jaksa pada Kejaksaan Negeri Garut Donny Ferdiansyah Sanjaya, S.H., M.H., Jaya P. Sitompul, S.H., M.H., Feza Reza, S.H., M.H. dan Banu Adji, S.H pada persidangan Praperadilan perkara nomor 1/Pid.Pra/2024/PN Grt. Artinya Jaksa Agung bisa disebut bohong, katanya dalam pertimbangan merupakan pedoman, tapi boleh dilanggar.

“Menurut tim Jaksa pada Kejaksaan Negeri Garut pelanggaran pada Standar Operasional Prosedur (SOP) PERJA No. PER-039/A/JA/10/2010 tidak menghapuskan kewenangan diskresioner yang dimiliki oleh Jaksa sesuai dengan Pasal Pasal 1196 PERJA 039/2010 yang menyatakan demikian “tidak terpenuhinya mekanisme sebagaimana diatur dalam Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia ini bukan merupakan perbuatan tercela sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil, melainkan menjadi ukuran penilaian kinerja dalam penanganan perkara tindak pidana khusus.” (Vide Putusan No. 1/Pid.Pra/2024/PN Grt, halaman 30)”. Kata Asep yang mengutip dan membacakan salinan dalam putusan di kantornya.

"Ini merupakan kejadian luar biasa pada sejarah lembaga kejaksaan, karena seolah-olah penegak hukum boleh melanggar hukum karena ada kewenangan diskresioner, bahaya bagi kepastian hukum dan keadilan. Akan semakin mahal bagi masyarakat."tutup Asep.

(Red)

أحدث أقدم


Home ADS 2