Warga Garut Ajukan Prapradilan di Pengadilan Negeri Bandung Terkait Lambatnya Penanganan Kasus Korupsi oleh Kejari Garut


Partnerbhayangkara-Garut-
Dinilai lambat dan tidak mempedomani Standar Operasional Prosedur (SOP), Kejaksaan Negeri Garut dipraperadilankan oleh salah satu warga yang melaporkan dugaan tindak pidana korupsi. Karena dalam melaksanakan kerjanya, Jaksa pada kejaksaan haruslah mempedomani dan dijadikan rambu-rambu SOP yang melekat.

Tentu beralasan secara hukum saya mengajukan Praperadilan di Pengadilan Negeri Bandung, karena yang memiliki kompetensi absolut mengadili objek perkara tindak pidana korupsi adalah Pengadilan Negeri Bandung. 

Praperadian yang diajukan Asep Muhidin, SH terdaptar di Pengadilan Negeri Bandung dengan nomor perkara 19/Pra.Pid/2022/PN Bdg sejak tanggal 27 Oktober 2022, dan sudah dimulai sidang pertama pada Senin, 14 November 2022. Kejaksaan Negeri Garut sendiri dihadiri oleh Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus, Yosef, SH., MH dan tim.

Adapun yang dapat mengajukan Praperadilan sebagaimana yurisprudensi Putusan Mahkamah Konstitusi nomor : 98/PUU-X/2012 telah memperluas frase pihak ketiga yang berkepentingan dalam Pasal 80 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yakni sepanjang tidak dimaknai “termasuk saksi korban atau pelapor, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi kemasyarakatan. Disini saya sebagai pelapor dapat mengajukan Praperadilan sesuai putusan tersebut.

Sehingga layak Kejaksaan Negeri Garut untuk diajukan Praperadilan karena proses penanganan laporan dugaan tindak pidana korupsi Desa Sukanagara dan Inspektorat Kabupaten Garut seperti jalan ditempat progresnya. Hal itu tentu bertentangan dengan Asas Kepastian Hukum, Hak Asasi Manusia, dan Pasal 5 ayat (4), Pasal 22 ayat (2) Peraturan Jaksa Agung RI Nomor : PER-017/A/JA/07/2014 tentang Perubahan PER-039/A/JA/10/2010 tentang Tata Kelola Administrasi Dan Teknis Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus yang menjadi pedoman Kejaksaan dalam bekerja.

Selain itu, juga tidak sesuai dengan amanat Pasal 25 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menyebutkan “penanganan perkara korupsi harus didahulukan dan diutamakan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya.

Dengan berpedoman kepada Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, mengharuskan tentang pelaksanan penegakan hukum itu untuk memedomani asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan serta tidak berbelit-belit. Dari rumusan itu diketahui bahwa setiap “kelambatan” penyelesaian perkara pidana yang disengaja oleh aparat penegak hukum merupakan pelanggaran terhadap HAM, dan Pasal  9  ayat  (3)  International  Convenant  on  Civil  and political Right (ICCPR) tahun 1966 yang menyatakan bahwa pemeriksaan harus dilaksanakan sesegera mungkin. Sehingga aparat hukum tidak boleh menimbulkan ketidak pastian hukum terhadap suatu perkara.

Dalam penanganan dugaan tindak pidana korupsi pada Desa Sukanagara, sudah terdapat kerugian keuangan desa/negara sekitar Rp. 320 juta, bahkan bisa lebih kalau dihitung secara menyeluruh. Sehingga Perbuatan melawan hukumnya sudah jelas ada.

Saya meminta Kejaksaan Negeri Garut segera menetapkan tersangka kepada terduga korupsi Desa Sukanagara dan segera melakukan pemeriksaan terhadap Inspektorat Garut untuk memberikan kepastian hukum. Kedepan, saya juga akan melayangkan Praperadilan untuk penanganan kasus dugaan korupsi BOP, POKIR dan Reses pada DPRD Kabupaten Garut yang jalan ditempat bertahun-tahun, saat ini masih melengkapi dokumennya.


(Red)

أحدث أقدم


Home ADS 2